Monday, March 25, 2013

blurred lines.

your gesture carries some other people's gestures. maybe you wouldn't able to understand that. you carry my mother, my past lover, my father, my brother, my friend's gesture. you are what you are now, with what you do, and you are what they were, and what they did.

maybe I shouldn't relate you with the memories, because you deserve your own spot of memory in my head. but there's a blurred line between memories, and each affects another. I can't see your gestures without interpreting it as how I experienced it before. maybe when you're mad I'd see it as your show of affection, maybe when you're not there, I'd see it as a gesture of disinterest and disconnection.

but you deserve your own memory, with your own lines, although I know, that maybe, you'll also affect the memories I have about another people. and that's how I know you'll live inside here.

sebuah perang di kepalaku.

kuah mie bakso itu terasa terlalu asin. mungkin bukan salah orang-orang yang membuatnya. mungkin beberapa tetes keringatku jatuh ke sana. malam masih panas, diiringi orkestra suara klakson-klakson yang bersahutan tanpa harmoni dan gerungan mesin, juga percakapan samar di berbagai sudut antar para remaja dan bapak-bapak tua.

aku tidak pernah benar-benar berada di sana. dengan lidah yang penasaran mengecap berbagai rasa, dan telinga yang menangkap berbagai suara. tidak ada artinya. semua stimulus tidak bisa dikodekan, tidak ada yang berhenti dan menjadi sesuatu yang berarti.

dunia ini adalah surga dan neraka pribadi.

mungkin bangku-bangku kosong di sebelahku yang membuatku tidak ada di situ. mungkin keramaiannya. mungkin aku tinggal di dunia yang lainnya, yang hanya kukunjungi setiap malam, sebelum kesadaranku lenyap dan aku terlelap.

dan kamu.

segalanya terkadang berarti denganmu. dengan sentuhan yang juga tidak bisa kuartikan, sentuhan yang tak tinggal dan menguap tanpa bekas ketika kamu tiada. aku telah menyaksikan semua orang datang dan pergi, dan aku belajar untuk tidak mengharapkan siapapun kembali. tapi diam-diam aku menanti. aku berusaha mengingat hal-hal kecil seperti hangat tubuhmu atau suaramu yang lembut. kamu bilang ingin memasuki kepalaku dan berusaha bertahan di dalamnya. di dalamnya ada perang, aku memperingatkanmu. kamu tertawa dan tidak peduli.

sesuatu terputus.

denganmu.

mungkin telepon-telepon yang tidak kusambungkan. mungkin suara-suara yang tidak kudengar. mungkin rasa familiar yang sudah lama tergerus oleh waktu dan pemisahan diri dari hal-hal yang ada di depanku.

mangkuk di depanku tiba-tiba kosong dan aku tak ingat perginya kemana. sudah waktunya. aku beranjak dan keluar dari sana, kembali ke ramai. kembali ke segala hal yang tidak aku tahu.

kembali pada segala hal yang bukan kamu.

Saturday, March 16, 2013

Hujan pun Tidak Berhenti

Aku tidak pandai membaca pertanda atau arti dari perilaku seseorang. Seperti ketika aku kecil dan ibuku terus membacakan cerita yang sama setiap malam. Alih-alih membacakan cerita dari buku-buku dongeng yang sudah ada, dia membacakan ceritanya sendiri. Isinya selalu tentang hujan. Hujan yang berperilaku seperti manusia. Hujan yang turun ketika dia ingin turun, hujan yang berhenti ketika dia ingin berhenti.
Aku menerimanya mentah-mentah selama aku kecil, dan aku percaya hujan benar-benar melakukan itu. Aku percaya hujan punya kehendak. Ibuku mungkin orangtua paling aneh saat itu, memperkenalkan konsep hujan lebih awal dari konsep Tuhan. Tapi itu yang dia lakukan.
Hingga sesuatu terjadi di suatu hari. Kami tidak duduk bertiga di meja makan pada suatu pagi. Ayah katanya pergi, dia menemukan orang lain yang ia pilih lebih dari kami. Ibu mulai berubah. Ia tidak membacakanku dongeng-dongeng lagi. Dia tidak pergi kemana-mana, hanya tidur dengan posisi seperti bayi di dalam kandungan di dalam kamarnya. Dia juga berhenti makan, berhenti mandi.
Sebelum dan sepulang sekolah, aku akan duduk di sampingnya, mengajaknya bicara walau ia tak pernah menyahut apapun yang kukatakan. Kadang aku memintanya untuk makan, tapi dia tidak membiarkannya masuk ke dalam perutnya. Lama-lama aku bisa melihat tulangnya menonjol di tubuhnya. Ia hanya minum seperlunya, lalu tidur lagi. Aku kadang berusaha menangis keras di sampingnya, tapi itu pun tak menggerakkannya.
Lalu suatu hari dia berbalik di tempat tidurnya dan menggenggam tanganku. Dia meminta maaf. Aku tak mengerti.
Dia mulai bercerita. Tentang hujan lagi. Kali ini berbeda. Katanya hujan tak mau berhenti. Katanya hujan tak punya lagi kehendak, tak punya lagi kekuatan untuk bertindak.
Hujan hanya tak pernah berhenti, di suatu kota. Yang jauh. Yang tak pernah kulihat, katanya. Aku memeluknya tapi dia begitu dingin dan ia tertidur.
Aku tak pandai membaca tanda-tanda. Ketika esoknya dia tak ada lagi di sana, aku tak menemukan apa-apa. Hanya kertas-kertas yang berserakan di atas kasurnya. Tentang hujan yang tak pernah berhenti.

Wednesday, March 13, 2013

The Sense of An Ending

 


I suppose memories happen every single seconds. Every passing moments become memories, especially for people who want to remember it. Otherwise, that moment will get lost in time.

But memory is tricky. It's all in your head, and you're not exactly the most accurate recorder of memory. What really happened isn't always like what you remember about it. People color their memories with their feelings, their judgement, their intention, and maybe what others tell them.

This is what Julian  Barnes talked about in his book, The Sense of An Ending. It won Man Booker Prize in 2011 (before Hilary Mantel started to get it year after year, no offense), so you know it should be good. But I don't think I'll review this book in a standard long description, but I dare to say that I haven't read this kind of book for a while. It's about a man who reviewed his memories about his friend, after he received a shocking news about that friend and a stack of money from unexpected source. Things happened in his past, but did it happen the way he remembered it?

The book is short, only 163 pages long. I think you'll be able to finish it in one sit. The language is very fluid and quite easy to understand, but the concept inside it will make you think long after you finish the last page. Barnes juggled with some philosophical meditation about time, memory, love, lost, and secrets. I really recommend you to read it.

Oh, and by the way, don't blame me if you also start to think about your past, and review what you remember about it in your mind after reading this book. And don't be too surprised with what you find. Cheers.