Monday, September 30, 2013

Melancholia

Tonight me and my good friend went to see a maze, called Autisticmaze. After you get into it, you're supposed to understand better the mind of autistic children. You're supposed to feel what they feel and see what they see.
In a way, I applaud the committee who made the maze to increase the awareness on autism. I think autistic people get misunderstood a lot, so it's very good that they tried to change that.
But in a way, it still felt very superficial to me. I can't get in there. I'm not there, inside their mind. I don't even know if it's possible to do such thing. They just put quotes on how they feel and see things, as well as some interactive things like fruit autistic kids can't smell, or even headphone to hear what the autistic kids hear from certain source of sound. Still didn't do it for me.
But what my friend said kinda rang a bell inside my head: you're hard to understand too. Maybe you'll have a maze like that as well to make people understand you better.
Call me pessimistic, but I don't know if you can ever really understand anybody around you. You think you know, but uou don't know for sure. People do surprising stuff. Let alone me.
Why are you so silent all the time? Why do you suddenly get silent and act like you're hurt? Why do you believe in such thing?
I can never explain it. I could try, but deep in my heart, I know some things are incredibly private that you can't even share it to other people, not can you make them fell better. Some others are hard to be communicated to.
Like, If I said I heard something in your tone, or your pupil that hurts and scares me, would you understand?
No? That's what I gotta love.

Friday, September 6, 2013

Indescribable

I wanna say a lot of things, but I think this video sums everything up. Everything in my head. I guess. It's not fair, I should have my own voice. But this time, I'll let GD do the talking.

Sunday, September 1, 2013

The Bus

The bus almost hit me. I couldn't see anyone inside as the windows were covered by jet black filter. It didn't stop out of sudden like I thought it would. As I threw myself to the ground to avoid it, the bus kept on going, slowly, then stopped almost half a mile from me. As if the people inside just noticed I existed and talked about stopping for me. I resigned. The cold soil soothed me. I couldn't care less if that bus really broke my bones.
I could see a man hopped out from the bus. He wore white tshirt and jeans. I couldn't see his face but I knew he had dark brown hair. Like the soil. I wondered if it was as soothing.
As he walked towards me, his face grew clearer like the bottom of a lake when you move your face closer to the water. He had small eyes, long nose, and even smaller lips. His shoulder was broad and his chest seemed strong.
"You walkin alone?" He asked.
I nodded. His eyes shifted to my backpack that lied before me.
"You ran away from home?" He asked again.
I nodded again. "I used to."
"What do you mean you used to?"
"I'm on my way home." I tried to hide the blush on my cheek. I didn't know if he knew anyone who ran away and came back. "It must sounded silly, but--"
"Nah, it didn't. People do that."
"You think so?"
"Yeah, running away is tiring."
I remember I felt slightly warmer after I heard him muttering that sentence. Smile came to my face. He seemed to know. It's always nice to meet someone who knows stuff.
"Yes, it is," I said.
"I'm sorry about the bus. The driver didn't see you."
"It's okay."
Then he looked at me for a minute or so, without blinking. I let him do that. I usually got really mad at someone who did what he did, but I could tolerate his presence.
"Come along with us."
I didn't even think about who "us" was. I thought about the high trees around me, and the strange sounds from the forest, and the shadows that passed so quickly you didn't know whether they really existed or not.
"Would you guys go to Marine Dock?" I mentioned my city.
"We could get you closer to that place. Hell, I'll even drop you home myself. It's not good, you know, this kind of place. This road. You shouldn't be alone."
I knew he was right. I did choose to be alone on this whole journey. But that was the first time someone asked me to join him. To choose something else than my solitude. Naturally, anything is better than being alone. Or so I felt at that moment.
So I nodded, for the third time. Now he smiled so wide, I didn't know how it made him so happy. I got up, and he held my hand to join him to walk towards the bus.
I tried to see the inside, and I still couldn't see anything. Then we walked up the stairs, and I began to see the old guy who sat in the driver seat. He was pale, and unmoved by my presence. There were a lot of vacant seats. "Sit beside me," he said.
I concurred. We sat on the second row, side to side. I closed my eyes, and I could feel the bus moving. And then deafening silence. He grabbed my hands. I didn't stop him.
Then I couldn't feel his touch anymore.
"You know this bus isn't going to your home, right?"
I couldn't even open my eyes. I just nodded, again, and fell asleep.

Friday, August 30, 2013

Direction

Where are you going?
I don't know. I'm just looking for noise. That's my direction in the world.

Thursday, August 29, 2013

Last Day On Earth

Menit itu adalah menit terpanjang dalam hidupku.
Bergerak. Aku bisa mendengar suara derap langkah orang-orang berlarian di luar sana. Entah mengejar apa. Mencari siapa.
Bergerak. Tanah juga. Yang biasanya tertidur tenang di bawah kakiku. Dinding yang bergeser. Retak. Segala hal yang kupikir tak akan pernah beranjak dari tempatnya. Beton dan kaca-kaca beterbangan.
Tak bergerak. Onggokan tubuhmu di atas pangkuanku. Tak membuka mata, tak mati. Tapi aku masih bisa membayangkan dirimu di dalamnya. Tentu saja.
Pinggulmu yang tadi malam masih melenggak-lenggok, menempel ke tubuhku. Mengikuti irama lagu cepat, dengan bass berdentum-dentum yang menggetarkan dinding kamarmu. Jenis musik yang padahal kau benci. Siapa peduli! Teriakmu. Tubuh kurusmu kemudian naik ke atas kasur, melompat-lompat riang seakan kau 20 tahun lebih muda dari usiamu.
Aku hanya bisa duduk di sofa sebelah kasurmu, menyesap teh, memandangimu. Rambut panjangmu kini tak beraturan lagi, berjatuhan di depan wajahmu. Kau bahkan tak menyibaknya.
Ayo sini! teriakmu. Ayo, jangan sampai kamu menyesal!
Tubuhku tetap tak bisa bergerak. Aku tak bisa merasakan energi yang sedang meledak-ledak di dalam dirimu. Entah kenapa.
Berita di TV masih menyiarkan hal yang sama. "Besok! Hari terakhir di dunia. Para ahli telah memastikannya." Si pembaca berita kemudian terlihat menahan tangis. Lucu.
Kau kemudian meloncat menuju rak berisi buku-buku kesayanganmu. Tubuhmu masih bergoyang tak beraturan. Dan seakan itu adalah bagian dari tarian ritual, kau mengambil satu buku dan mulai merobek-robeknya. Kini alisku naik. Tapi kau tampak menikmatinya. Aku ingat kau pernah bilang betapa buku-buku itu adalah dunia keduamu. Bahwa buku-buku itu menyelamatkanmu.
Penampilanmu kau tutup dengan menarik rak bukumu itu ke lantai, sampai suara berdebum keras terdengar. Tetangga kita berteriak. Berisik! Teriak mereka.
Siapa yang tidur di hari terakhir dunia! Teriakmu.
Mereka tak bisa menyahut.
Dengan napas terengah, kau terjatuh ke kasurmu. Sesaat kau membatu, memandangi langit-langit. Hey, kesini, ajakmu.
Aku patuh. Kurebahkan tubuhku juga di sampingmu.
Ayolah, apa yang kamu inginkan di hari terakhir ini?
Tidak ada, ujarku.
Kau bercanda.
Aku cuma ingin bersamamu, bisikku. Lalu aku menyadari betapa murahannya kata-kataku.
Semua ini... nggak ada artinya buatmu ya? tanyamu.
Tidak ada.
Setidaknya bilanglah kata-kata terakhirmu padaku. Kata-kata perpisahanmu pada dunia.
Fuck you.
Apa?
Itu kata-kata terakhirku.
Oh, itu, kata-kata terakhirmu? Baiklah. Kau tertawa lepas. Hey, aku tidak ingin melihat dunia ini berakhir, lho. Aku tidak siap. Kita juga akan menghilang ya?
Ya.
Kita tinggal di sini saja ya? Pura-pura tidak terjadi apa-apa. Aku dan kamu saja.
Oke.
Oke.
Lalu kita tertidur. Waktu dan tempat berseliweran tanpa jejak. Kita saja.
Dan di sini. Kau tak bangun juga.hingga sekarang. Aku bisa mendengar detak waktunya. Satu menit lagi. Akhir dunia.
tik. tik.
boom.

Monday, June 3, 2013

Frame Film yang Terhapus


Seperti apa, ya, film Indonesia tanpa sejarah di belakangnya?

Itu pertanyaan yang muncul di benak saya waktu menghadiri nonton bareng film Anak Sabiran: Di Balik Cahaya Gemerlapan (Sang Arsip) hari Sabtu 1 Juni 2013 kemarin di Rumah Buku, Hegarmanah, Bandung. Film dokumenter buatan Forum Lenteng ini mengangkat masalah urgent yang tidak pernah saya dengar sebelumnya: sejarah film Indonesia dalam bahaya. Film dokumenter ini mengangkatnya dari sudut pandang seorang tokoh film ternama Indonesia yang sekarang telah berpulang, bapak Misbach Yusa Biran. Pernah dengar namanya? Saya belum, dan saya jadi merasa bersalah. Kenapa saya lebih tahu nama-nama sutradara terkenal dari Hollywood dan negara-negara lain, tapi tidak tahu sutradara terkenal Indonesia? Padahal namanya ada di sekitar 40 film Indonesia, dan Ibu saya bilang dia memang terkenal di zamannya. Apa saya memang sebuta itu pada sejarah perfilman Indonesia? Oke, balik lagi ke topik. Ternyata Pak Misbach Yusa Biran adalah orang yang menyadari kurangnya dokumentasi film Indonesia. Dia akhirnya mendirikan Sinematek bersama Asrul Sani, yang kira-kira merupakan tempat dikumpulkannya dokumentasi film Indonesia, dari rol-rol film, manuskrip skenario, poster, foto, dari ribuan film Indonesia. Sayangnya, ini bukan tanpa kendala. Sinematek tidak dapat dikelola sebagaimana seharusnya, karena banyak film yang tidak dirawat dengan baik sampai tidak bisa diputar lagi, bahkan sampai membatu. Alat-alat yang dibutuhkan tidak ada, dan banyak teknik yang salah dalam perawatannya. Belum lagi masalah kekurangan dana. Tapi, siapa yang mengurusnya selain mereka?

Sesaat, saya pikir masalahnya adalah kurangnya kepedulian orang-orang Indonesia tentang pengurusan sejarah film itu. Tapi ternyata masalahnya lebih dalam lagi. Organisasi Sinematek ini ternyata tertutup dan seakan "menolak" bantuan dari luar. Intervensi dari luar tidak bisa masuk, orang-orang yang mau membantu didorong pergi. Ruwet. Diskusi kami malam itu membahas juga bagaimana ini bisa terjadi, dan ternyata kendala terbesarnya adalah bagaimana organisasi itu adalah badan hukum pribadi yang bahkan negara pun jadi sulit ikut campur di dalamnya.

Tapi apa jadinya kalau sejarah film kita betul-betul terhapus dengan masalah pemeliharaan seperti ini? Pertanyaan lebih lanjut, sepenting apa sebuah negara mengelola bukti-bukti sejarah perfilmannya?

Almarhum Pak Misbach sangat meyakini kekuatan film sebagai media persuasi. Ada banyak film-film yang pesannya begitu penting di masa lalu, dari tentang perjuangan, pahlawan-pahlawan, sampai pesan-pesan kehidupan. Akan terasa sangat salah ketika kita tidak bisa melihat balik ke masa itu dan mengingatkan diri pada inti film Indonesia. Apa yang pernah disampaikan filmmaker hebat di masa lalu seperti Usmar Ismail, Teguh Karya, Sjumandjaja?  Di tengah maraknya kritik terhadap film Indonesia sekarang, kita juga tidak bisa menutup mata dari karya-karya itu. Belum lagi peran film sebagai proyeksi dari masyarakat di kala itu. Tidakkah kita bisa mempelajari masyarakat kita di masa lalu dengan film-film itu, mempelajari nilai-nilainya? Untuk membuat proyeksi yang baik dari masyarakat kita sekarang juga, untuk dilihat oleh generasi berikutnya? Tapi bagaimana itu bisa terjadi kalau kita bahkan tidak bisa mengurus bukti sejarah yang kita punya?

Masalah lain adalah restorasi film. Restorasi film Lewat Djam Malam yang baru-baru ini dilakukan ternyata memakan biaya sampai 6 milyar. Dan ternyata itu dilakukan oleh negara lain, Singapura tepatnya. Kalau memang Indonesia ingin melakukan restorasi lagi, bagaimana kita menyelamatkan film-film ini, dengan perhitungan restorasi 6 milyar per film? Yang paling menyedihkan, film-film kita sekarang banyak yang malah disimpan di negara lain seperti Jepang dan Belanda. Mereka yang mengurus dan merestorasi. Yang artinya itu menjadi milik mereka sekarang. Apa kita bisa membiarkan sejarah kita dicuri seperti itu?

Gedoran tentang pentingnya sejarah perfilman Indonesia jujur bikin saya miris juga. Malam itu, semua orang berpikir tentang apa yang bisa kita lakukan untuk menyelamatkan frame-frame yang terhapus ini. Diskusi berakhir dengan pemikiran bahwa sudah waktunya Indonesia menyatakan bahwa film-film kita ini adalah warisan budaya yang harus diselamatkan, dan membuat sistem yang lebih baik untuk merawatnya. Kepergian dari tokoh yang begitu peduli dan mengabdikan dirinya untuk menyelamatkan sejarah film Indonesia jadi penggedor kuat yang makin menekankan urgensi ini.

Satu lagi, pembicara malam itu, Prima Rusdi, menyadarkan saya juga tentang satu hal. Mbak Prima menyatakan bahwa setiap hal yang kita rekam, bahkan hanya sekadar video sehari-hari, adalah sejarah. Adalah bagian dari sejarah, dan pantas disimpan untuk menjadi dokumentasi sejarah. Dengan pemikiran seperti itu, dan apa yang sudah terjadi selama ini, dia berpikir bahwa mudah-mudahan orang juga jadi berpikir dua kali tiap akan merekam sesuatu. Apalagi di zaman digital seperti sekarang, dimana sekali kita menyimpan sesuatu di internet, data itu tidak akan pernah terhapus.

Jadi, sejarah apa yang akan kita buat sekarang, dan seperti apa kita akan memperlakukan sejarah masa lampau kita?

(lebih jauh tentang Sinematek, mungkin sekilas bisa dilihat di http://id.wikipedia.org/wiki/Sinematek_Indonesia)

P.S: Maaf jadi agak serius, saya tertarik mengangkat isu ini karena kemarin bener-bener kaget setelah nonton dokumenter itu. Bravo, forum Lenteng. Dan film Anak Sabiran, Di Balik Cahaya Gemerlapan (Sang Arsip) dibuat oleh Hafiz Rancajale (penulis dan sutradara), Fuad Fauji (riset dan asisten sutradara), Mahardika Yudha (riset), serta Syaiful Anwar (kamera). Film ini diputar perdana 29 Maret 2013 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, kemudian diputar keliling beberapa kota, termasuk Bandung.
Kesalahan faktual mungkin saja ada di tulisan saya ini, karena ini adalah data yang saya kumpulkan dari menonton film dokumenter itu dan diskusi setelahnya. Kalau ada yang mau mengoreksi, dipersilakan.

Wednesday, May 29, 2013

You Know What's Funny

Sometimes you ask some people to stay, and they go, and they turn your back on you, without saying anything, because they think you don't deserve any explanation. And they go anyway, even when you ask them to stay.

Sometimes you ask some people to go, without any explanation, push them away really hard, and they stay. And they care even when you bite them and corner them to the edge. They say, I know what you're doing, and I want to be around.

And you're okay because of both, the first batch of people hurt you, and the second batch of people heal you. The first batch of people remind you how hurt it is to be left alone, so you can appreciate the second batch of people more. As if you need to have both even not all of them are pleasant.